BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN
DI THAILAND
Dari hasil
sensus tahun 1972, diketahui bahwa usaha pemerintah dalam bidang pendidikan
tidak begitu berhasil. Ini dibuktikan, dengan fakta 36% anak umur 7 tahun ke
atas yang dapat mengikuti program pendidikan umum. Masalah yang dihadapi negeri
ini sangatlah kompleks, diantaranya menyangkut persoalan pendidikan, kesehatan,
pangan, pelestarian lingkungan hidup dan peningkatan pendapatan. Usaha yang
telah dilakukan negeri Thailand untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut
antara lain :
1. Program
untuk Bidang Pelayanan Kesehatan
Program
pedidikan luar sekolah yang telah dan sedang dilakukan sebagai usaha penting
untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat terutama dalam hal pencegahan
terhadap penyakit menular, pemeliharaan kesehatan lingkungan kursus-kursus mengenai
cara memilih, mengolah dan menyusun menu makanan yang bergizi serta mengandung
banyak zat-zat nutrisi yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan tubuh supaya
sehat dan kuat.
2. Program
Pengadaan Pangan
Disamping
dilaksanakan pendidikan luar sekolah dalam bentuk teknologi pertanian,
Departemen Pertanian menunjang kegiatan ini dengan menyelenggarakan program
pendidikan luar sekolah dalam bentuk latihan bercocok tanam murbei dan kapas,
memelihara ulat sutera, memintal benang dan sebagainya dalam rangka menumbuhkan
semangat berwiraswasta.
3. Program
pelestarian Lingkungan Hidup
Pemerintah
mengadakan ceramah-ceramah, penyuluhan dan diskusi dalam program pelestarian
lingkungan hidup.
4. Program
peningkatan pendapatan
Pemerintah
menyelenggarakan program pendidikan luar sekolah berupa latihan dan
kursus-kursus keterampilan yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan yang
sesuai dengan bakat dan minat masing-masing penduduk.
SISITEM PENDIDIKAN DI THAILAND
Sebelum masuknya
pengaruh barat, proses pendidikan luar sekolah di Thailand banyak berlangsung
di kuil-kuil Budha, dimana para pendeta mengajarkan menulis, membaca, berhitung
dan berpikir secara Budhis kepada murid-muridnya, serta diajarkan berbagai keterampilan,
latihan magang kerja dan seni bela diri. Selain itu, dalam keluarga anak juga
mendapatkan pendidikan berupa pemberian pengalaman hidup sesuai adat dan
kebudayaan serta pendidikan untuk menjadi istri/ibu yang baik bagi anak
perempuan.
Pada tahun 1870,
Raja Chulalongkom mulai memberlakukan sekolah pendidikan formal di setiap
provinsi. Perubahan yang sangat besar terjadi pada tahun 1960 dimana pemerintah
melaksakan program kewajiban belajar bagi anak-anak usia 4-7 tahun dan banyak
sekali mendirikan banyak sekolah-sekolah dasar (Praton) dan sekolah-sekolah
menengah pertama (Mawsaw) di setiap provinsi, serta menyelenggarakan pula program-program
pendidikan luar sekolah yang sasaran dan materinya disesuaikan dengan
kepentingan warga masyarakat untuk dapat mengembangkan kemampuan potensial
warga masyarakatnya. Namun, program tersebut mengalami kegagalan karena
ternyata banyak anak yang berhenti dari sekolah dasar.
PROGRAM PNDIDIKAN NON FORMAL UNTUK
MEMBERANTAS BUTA AKSARA
Buta aksara merupakan salah satu masalah
yang harus dipecahkan oleh pemerintah Thailand. Hal ini tidak dapat diatasi
dengan pendidikan formal di desa, karena sekolah dasar yang di desa ternyata
hanya mengajarkan pengetahuan dan alat-alat pelajaran yang kurang fungsional
bagi keperluan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pemerintah menyusun
strategi pendidikan yang baru serta melaksanakan program pendidikan non formal
untuk melengkapi pendidikan formal.
TAHAPAN KEGIATAN PROGRAM PENDIDIKAN NON
FORMAL
Tahap I - Dilaksanakan
program pemberantasan buta aksara sebagai program dasar yang menggunakan sistem
pendidikan formal sebagai dasarnya. Jadi, warga belajar juga memeroleh apa saja
yang dipelajari murid-murid sekolah dasar tanpa memerhitungkan warga
belajar.dalam program ini, pelajaran diberikan selama 2 semester. Akhir
semester pertama dihargai sama dengan kelas II sekolah dasar dan akhir semester
kedua dihargai sama dengan kelas IV sekolah dasar. Pada setiap akhir semester
diadakan ujiandan bagi yang lulus diberikan ijazah persamaan, namun ijazah
tesebut tidak dapat digunakan seperti ijazah sekolah formal.sehingga, program
ini kurang menarik bagi warga belajar. Menurut catatan setelah program ini
berjalan selama 3 tahun, jumlah orang yang dapat dibebaskan dari buta aksara
adalah 1.409.686 orang.
Tahap II – Diadakan
program buta aksara yang kedua. Dasarnya masih sama dengan program yang
pertama, namun dilakukan beberapa perbaikan baik pada strategi pendidikannya,
kurikulumnya, bobot pengetahuannya maupun pada pengakuan ijazahnya, sehingga membuat
warga belajar semakin bersemangat.
Tahap III – Pada tahun
1965 UNESCO menyelenggarakan percobaan pendidikan luar sekolah untuk
memberantas buta aksara di Thailand. Disamping memberikan pelajaran membaca dan
menulis, juga memberikan pendidikan keterampilan yang langsung dapat digunakan
oleh warga belajar untuk memperbaiki taraf kehidupannya.
Tahap IV – Strategi
pengajaran program ini dititik beratkan pada kemampuan untuk membaca
bahan-bahan pelajaran yang sudah ditentukan. UNESCO mencetak buku-buku paket
sebagai buku bacaan berseri yang di dalamnya diajarkan bagaimana cara
memelihara kesehatan, mengatur nutrisi, bercocok tanam dan sebagainya. Setiap
kali warga belajar menunjukkan kemampuan membaca 1 buku seri, mereka diberi
surat keterangan tentang kemajuan belajar yang telah diperolehnya. Namun karena
pelaksanaannya pada malam hari dan sulitnya transportasi, maka program ini
menghadapi banyak kesulitan. Selain itu, para guru yang mengajar juga kurang
mendapatkan latihan khusus, sehingga mereka kurang menyadari tugasnya dan
mengabaikanaspek-aspek fungsional yang diperlukan warga belajar.
Tahap V – Pada tahun
1970, program pendidikan luar sekolah diperbaiki dan digabung secara integral
dengan pendidikan keluarga. Banyak guru di Thailand yang dikirim ke India oleh
World Education (semacam lembaga pendidikan internasional yang berkedudukan di
Amerika) bersama dengan USOM (United Stated Operations Missions to Thailand)
untuk mempelajari program-program penanganan masalah buta aksara yang sudah
berhasil di sana. Program ini bertujuan untuk bagaimana menolong orang yang
tidak berpendidikan agar dapat memecahkan masalah yang dihadapi, bagaimana
mengutarakan pendapat, membuat konsep pemecahan rasional, mempunyai keberanian
dan mampu melaksanakan tindakan yang kosepsional tersebut. Untuk itu, digunakan
teknik diskusi. Warga belajar dihimpun dalam kelompok kecil, kemudian mereka
dihadapkan pada fakta kehidupan nyata serta diberi penjelasan. Mereka diberikan
waktu untuk membicarakan persoalan keluarga dan lingkungannya secara bebas
dalam kelompok masing-masing. Dalam kelompok, warga belajar diberi kebebasan
untuk saling mengemukakan pengalaman, membandingkan dengan pengalaman warga
belajar lain, mendengarkan pembicaraan serta membuat pertimbangan sebelum
mengambil sesuatu keputusan yang rasional.
Disamping
melalui metode diskusi, warga belajar juga diajarkan mengenali dan membuat
simbol dan arti simbol itu serta suara dari tiap-tiap simbol, mengenali dan
membuat huruf serta bunyi dari huruf, sampai pada latihan membaca dan menulis
kalimat lengkap tentang materi yang telah dibicarakan dalam diskusi kelompok.
Program
pendidikan luar sekolah ini kemudian dikembangkan dalam bentuk penyusunan
silabi dan kurikulum yang didasarkan pada kemampuan mengenal masalah kehidupan
sehari-hari. Materi silabi dan kurikulum tersebut dalam garis besarnya memuat 4
aspek tentang :
a. Aspek
kebutuhan hidup
b. Aspek
ekonomi dan konsumsi
c. Aspek
kesehatan dan kesejahteraan keluarga
d. Aspek
kewarganegaraan
Materi tersebut
diwujudkan dalam bentuk gambar berurutan yang mudah dikenal dan dipahami,
kemudian dicetak dalam kartu tugas. Di bawah setiap gambar diberikan kata-kata
kunci. Kartu ini dipakai sebagai bahan pokok untuk motivasi proses belajar
mengajar dalam kelompok kecil. Setiap warga belajar diberikan map untuk tempat
penyimpanan kartu-kartu tugas yang telah selesai dikerjakan. Kemajuan warga
belajar dapat diukur dari banyaknya simpanan kartu tugas yang ada di mapnya
masing-masing.
B. PROYEK
PENDIDIKAN NON FORMAL DI EQUADOR
Di Equador,
pendidikan membaca dan menulis menjadi prioritas dibandingkan dengan
pengetahuan lain. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan dimana kemampuan membaca
dan menulis berkembang baik, namun kemajuan dalam berhitung dan pengetahuan
yang lain berkembang sangat lambat. Maka untuk mengejar ketertinggalan itu,
pemerintah Equador juga mengadakan pemberantasan buta angka disamping bta
aksara. Meskipun keduanya berbeda,tetapi keduanya saling membutuhkan satu sama
lain. Sebagian besar penduduk Equador adalah petani yang di dalam hidupnya sehari-hari
membutuhkan pengetahuan berhitung disamping pengetahuan membaca dan menulis.
Oleh karena itu, kemahiran berhitug sangat penting bagi penduduk petani
Equador. Program ini lebih memusatkan perhatiannya bagi penemuan dan
pengembangan alat yang menarik dan efisien dalam pembelajaran berhitung, yaitu
dengan permainan.
SEPULUH BENTUK PERMAINAN
1.
Permainan bingo
Bertujuan
untuk mengajarkan cara penambahan atau cara perkalian.
2.
Permainan Burro
Bertujuan
untuk mengenal dan mengembangkan konsep dan simbol hitungan perkalian.
3.
Permainan Parchisi
Bertujuan
untuk mengenal konsep dan simbol pembagian.
4.
Permainan Roulette
Bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan penambahan dan perkalian angka.
5.
Permainan Ringtoss
Bertujuan
untuk belajar dasar-dasar ilmu pasti dari tingkat yang rendah ke tingkat
menengah.
6.
Permainan Pinball
Bertujuan
untuk memudahkan dalam mengerjakan soal berhitung baik menambah maupun mengalikan.
7.
Permainan Soccer
Bertujuan
untuk mengadakan pertandingan berhitung, mengurangi, mengalikan maupun membagi juga
mengerjakan hitungan campuran.
8.
Permainan Domino
Bertujuan
untuk mengerjakan ilmu hitung supaya warga dapat belajar mengetahui konsep dan
simbol ilmu hitung secara menyeluruh.
9.
Permainan Number Dice
Bertujuan
untuk menguasai sejumlah simbol dan dasar ilmu hitung.
10. Permainan
Market Rummy
Betujuan
untuk mengembangan kemampuan dasar dalam soal berhitung.
C.
LAUBACH LITERACY INTERNSTIONSL DI
SYRACUSE
Lembaga Laubach
Literacy International (L.L.I) di kota Syracuse, Amerika Serikat, merupakan usaha swasta dan
non profit yang bergerak di dalam kegiatan pendidikan luar sekolah seperti
pemberantasan buta huruf, penyebarluasan bahasa Inggris, bimbingan dan
penyuluhan sosial, pendidikan keterampilan dan pertolongan untuk mendapatkan
pekerjaan. L.L.I adalah organisasi yang bersifat International telah tersebar
di beberapa Negara maju dan Negara berkembang.
RIWAYAT SINGKAT L.L.I
L.L.I didirikan
pada tahun 1959 oleh Dr. Frank C. Laubach, seorang pendeta dan penyebar agama
Kristen warga negara Amerika Serikat yang pernah hidup bertahun-tahun di
Philipina dan telah banyak menulis buku tentang keadaan dan cara hidup orang
Philipina yang dianggapnya ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain. Di Sadari
oleh rasa kemanusian dan Filsafah hidup orang nasrani yang beranggapan “Lebih
banyak beramal dari mencari keuntungan”,
Dr. Frank C. Laubach kemudian
membantu orang-orang tersebut. Karena dasar itulah kegiatan tersebut
mendapat sambutan positif dari masyarakat baik di Amerika dan Negara-negara
lain. Setelah Dr. Frank C. Laubach meninggal organisasi tersebut kemudian di
teruskan oleh anaknya yakni Robert S. Laubach seorang guru besar di Universitas
Syracuse.
STRUKTUR ORGANISASI DAN POLA KERJA LLI
Struktur
organisasinya diatur dalam 3 bagian, yaitu General Management Offices dan New
Reader Press Division berada di Syracuse, masing-masing bagian dibagi lagi ke
dalam beberapa sub bagian. Sedangkan bagian Educational Program Division sub
bagiannya tersebar di beberapa negara : Rhodesia, Jerusalem, India, Brasil,
Mexico, Panama, Colombia, Amerika Latin dan Ontario Canada.
METODE PENDIDIKAN YANG DIGUNAKAN
Metode pendidikan yang digunakan L.L.I
yaitu metode pendekatan dan metode studi kasus. Untuk melaksanakan kedua metode
tersebut, diperlukan tenaga pimpinan yang potensial, mampu bekerja sama dengan
penduduk dan mampu membuat perencanaan serta evaluasi yang baik. Selain itu,
juga diperlukan sukarelawan yang memiliki banyak pengalaman dan waktu untuk
memberikan informasi dan menggunakan sumber-sumber manusia serta sumbe-sumber
belajar yang tersedia. Di dalam mengidentifikasi kegiatan apa yang dibutuhkan
perlu diketahui beberapa hal :
1.
Siapa-siapa sajakah pihak yang
mendukung kegiatan tersebut, individu atau kelompok.
2.
Kegiatan tersebut apakah sudah
dilaksanakan sebagaimana mestinya atau belum.
3.
Untuk apa kegiatan itu dan apakah
tujuannya.
4.
Dari kegiatan-kegiatan tersebut
manakah yang perlu diutamakan.
5.
Sudah tersediakah konsep dan alat
untuk kegiatan tersebut.
Mereka tidak hanya melaksanakan,
mengatur dan mengendalikan kegiatan, tetapi juga harus tahu pasti tujuan dari
kegiatan tersebut baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Arah tugas
mereka pada pokoknya ditujukan kepada 3 hal :
1.
Terciptanya masyarakat yang damai,
adil, dan makmur.
2.
Terciptanya pribadi manusia yang
serasi, utuh dan seimbang.
3.
Terciptanya pribadi manusia yang
ber-Tuhan.
Semuanya itu harus sudah dituangkan
dalam sistem perencanaan yang matang. Sukarelawan diberikan penataran serta
bahan-bahan yang diperlukan. Kemudian
mereka kembali ke daerah masing-masing. Sebelum
mereka melaksanakan kegiatan, mereka melaksanakan pendekatan berdasarkan
pendekatan yang telah dipelajari. Mereka juga harus mengadakan studi kasus
untuk mngetahui jenis kegiatan apa yang dibutuhkan di daerah tersebut. L.L.I
pusat di Syracuse selalu monitor aktivitas sukarelawan yang berada di negara
lain.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tulis Komentar dengan Bahasa yang Sopan :) Kata-katamu adalah cerminan Dirimu