Rabu, 17 Desember 2014

Pendidikan Di Thailand


  
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENDIDIKAN DI THAILAND
Dari hasil sensus tahun 1972, diketahui bahwa usaha pemerintah dalam bidang pendidikan tidak begitu berhasil. Ini dibuktikan, dengan fakta 36% anak umur 7 tahun ke atas yang dapat mengikuti program pendidikan umum. Masalah yang dihadapi negeri ini sangatlah kompleks, diantaranya menyangkut persoalan pendidikan, kesehatan, pangan, pelestarian lingkungan hidup dan peningkatan pendapatan. Usaha yang telah dilakukan negeri Thailand untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut antara lain :
1.      Program untuk Bidang Pelayanan Kesehatan
Program pedidikan luar sekolah yang telah dan sedang dilakukan sebagai usaha penting untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat terutama dalam hal pencegahan terhadap penyakit menular, pemeliharaan kesehatan lingkungan kursus-kursus mengenai cara memilih, mengolah dan menyusun menu makanan yang bergizi serta mengandung banyak zat-zat nutrisi yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan tubuh supaya sehat dan kuat.
2.      Program Pengadaan Pangan
Disamping dilaksanakan pendidikan luar sekolah dalam bentuk teknologi pertanian, Departemen Pertanian menunjang kegiatan ini dengan menyelenggarakan program pendidikan luar sekolah dalam bentuk latihan bercocok tanam murbei dan kapas, memelihara ulat sutera, memintal benang dan sebagainya dalam rangka menumbuhkan semangat berwiraswasta.
3.      Program pelestarian Lingkungan Hidup
Pemerintah mengadakan ceramah-ceramah, penyuluhan dan diskusi dalam program pelestarian lingkungan hidup.
4.      Program peningkatan pendapatan
Pemerintah menyelenggarakan program pendidikan luar sekolah berupa latihan dan kursus-kursus keterampilan yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing penduduk.
SISITEM PENDIDIKAN DI THAILAND
Sebelum masuknya pengaruh barat, proses pendidikan luar sekolah di Thailand banyak berlangsung di kuil-kuil Budha, dimana para pendeta mengajarkan menulis, membaca, berhitung dan berpikir secara Budhis kepada murid-muridnya, serta diajarkan berbagai keterampilan, latihan magang kerja dan seni bela diri. Selain itu, dalam keluarga anak juga mendapatkan pendidikan berupa pemberian pengalaman hidup sesuai adat dan kebudayaan serta pendidikan untuk menjadi istri/ibu yang baik bagi anak perempuan.
Pada tahun 1870, Raja Chulalongkom mulai memberlakukan sekolah pendidikan formal di setiap provinsi. Perubahan yang sangat besar terjadi pada tahun 1960 dimana pemerintah melaksakan program kewajiban belajar bagi anak-anak usia 4-7 tahun dan banyak sekali mendirikan banyak sekolah-sekolah dasar (Praton) dan sekolah-sekolah menengah pertama (Mawsaw) di setiap provinsi, serta  menyelenggarakan pula program-program pendidikan luar sekolah yang sasaran dan materinya disesuaikan dengan kepentingan warga masyarakat untuk dapat mengembangkan kemampuan potensial warga masyarakatnya. Namun, program tersebut mengalami kegagalan karena ternyata banyak anak yang berhenti dari sekolah dasar.
PROGRAM PNDIDIKAN NON FORMAL UNTUK MEMBERANTAS BUTA AKSARA
Buta aksara merupakan salah satu masalah yang harus dipecahkan oleh pemerintah Thailand. Hal ini tidak dapat diatasi dengan pendidikan formal di desa, karena sekolah dasar yang di desa ternyata hanya mengajarkan pengetahuan dan alat-alat pelajaran yang kurang fungsional bagi keperluan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pemerintah menyusun strategi pendidikan yang baru serta melaksanakan program pendidikan non formal untuk melengkapi pendidikan formal.
TAHAPAN KEGIATAN PROGRAM PENDIDIKAN NON FORMAL
Tahap I - Dilaksanakan program pemberantasan buta aksara sebagai program dasar yang menggunakan sistem pendidikan formal sebagai dasarnya. Jadi, warga belajar juga memeroleh apa saja yang dipelajari murid-murid sekolah dasar tanpa memerhitungkan warga belajar.dalam program ini, pelajaran diberikan selama 2 semester. Akhir semester pertama dihargai sama dengan kelas II sekolah dasar dan akhir semester kedua dihargai sama dengan kelas IV sekolah dasar. Pada setiap akhir semester diadakan ujiandan bagi yang lulus diberikan ijazah persamaan, namun ijazah tesebut tidak dapat digunakan seperti ijazah sekolah formal.sehingga, program ini kurang menarik bagi warga belajar. Menurut catatan setelah program ini berjalan selama 3 tahun, jumlah orang yang dapat dibebaskan dari buta aksara adalah 1.409.686 orang.
Tahap II – Diadakan program buta aksara yang kedua. Dasarnya masih sama dengan program yang pertama, namun dilakukan beberapa perbaikan baik pada strategi pendidikannya, kurikulumnya, bobot pengetahuannya maupun pada pengakuan ijazahnya, sehingga membuat warga belajar semakin bersemangat.
Tahap III – Pada tahun 1965 UNESCO menyelenggarakan percobaan pendidikan luar sekolah untuk memberantas buta aksara di Thailand. Disamping memberikan pelajaran membaca dan menulis, juga memberikan pendidikan keterampilan yang langsung dapat digunakan oleh warga belajar untuk memperbaiki taraf kehidupannya.
Tahap IV – Strategi pengajaran program ini dititik beratkan pada kemampuan untuk membaca bahan-bahan pelajaran yang sudah ditentukan. UNESCO mencetak buku-buku paket sebagai buku bacaan berseri yang di dalamnya diajarkan bagaimana cara memelihara kesehatan, mengatur nutrisi, bercocok tanam dan sebagainya. Setiap kali warga belajar menunjukkan kemampuan membaca 1 buku seri, mereka diberi surat keterangan tentang kemajuan belajar yang telah diperolehnya. Namun karena pelaksanaannya pada malam hari dan sulitnya transportasi, maka program ini menghadapi banyak kesulitan. Selain itu, para guru yang mengajar juga kurang mendapatkan latihan khusus, sehingga mereka kurang menyadari tugasnya dan mengabaikanaspek-aspek fungsional yang diperlukan warga belajar.
Tahap V – Pada tahun 1970, program pendidikan luar sekolah diperbaiki dan digabung secara integral dengan pendidikan keluarga. Banyak guru di Thailand yang dikirim ke India oleh World Education (semacam lembaga pendidikan internasional yang berkedudukan di Amerika) bersama dengan USOM (United Stated Operations Missions to Thailand) untuk mempelajari program-program penanganan masalah buta aksara yang sudah berhasil di sana. Program ini bertujuan untuk bagaimana menolong orang yang tidak berpendidikan agar dapat memecahkan masalah yang dihadapi, bagaimana mengutarakan pendapat, membuat konsep pemecahan rasional, mempunyai keberanian dan mampu melaksanakan tindakan yang kosepsional tersebut. Untuk itu, digunakan teknik diskusi. Warga belajar dihimpun dalam kelompok kecil, kemudian mereka dihadapkan pada fakta kehidupan nyata serta diberi penjelasan. Mereka diberikan waktu untuk membicarakan persoalan keluarga dan lingkungannya secara bebas dalam kelompok masing-masing. Dalam kelompok, warga belajar diberi kebebasan untuk saling mengemukakan pengalaman, membandingkan dengan pengalaman warga belajar lain, mendengarkan pembicaraan serta membuat pertimbangan sebelum mengambil sesuatu keputusan yang rasional.
Disamping melalui metode diskusi, warga belajar juga diajarkan mengenali dan membuat simbol dan arti simbol itu serta suara dari tiap-tiap simbol, mengenali dan membuat huruf serta bunyi dari huruf, sampai pada latihan membaca dan menulis kalimat lengkap tentang materi yang telah dibicarakan dalam diskusi kelompok.
Program pendidikan luar sekolah ini kemudian dikembangkan dalam bentuk penyusunan silabi dan kurikulum yang didasarkan pada kemampuan mengenal masalah kehidupan sehari-hari. Materi silabi dan kurikulum tersebut dalam garis besarnya memuat 4 aspek tentang :
a.       Aspek kebutuhan hidup
b.      Aspek ekonomi dan konsumsi
c.       Aspek kesehatan dan kesejahteraan keluarga
d.      Aspek kewarganegaraan
Materi tersebut diwujudkan dalam bentuk gambar berurutan yang mudah dikenal dan dipahami, kemudian dicetak dalam kartu tugas. Di bawah setiap gambar diberikan kata-kata kunci. Kartu ini dipakai sebagai bahan pokok untuk motivasi proses belajar mengajar dalam kelompok kecil. Setiap warga belajar diberikan map untuk tempat penyimpanan kartu-kartu tugas yang telah selesai dikerjakan. Kemajuan warga belajar dapat diukur dari banyaknya simpanan kartu tugas yang ada di mapnya masing-masing.
B.     PROYEK PENDIDIKAN NON FORMAL DI EQUADOR
Di Equador, pendidikan membaca dan menulis menjadi prioritas dibandingkan dengan pengetahuan lain. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan dimana kemampuan membaca dan menulis berkembang baik, namun kemajuan dalam berhitung dan pengetahuan yang lain berkembang sangat lambat. Maka untuk mengejar ketertinggalan itu, pemerintah Equador juga mengadakan pemberantasan buta angka disamping bta aksara. Meskipun keduanya berbeda,tetapi keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Sebagian besar penduduk Equador adalah petani yang di dalam hidupnya sehari-hari membutuhkan pengetahuan berhitung disamping pengetahuan membaca dan menulis. Oleh karena itu, kemahiran berhitug sangat penting bagi penduduk petani Equador. Program ini lebih memusatkan perhatiannya bagi penemuan dan pengembangan alat yang menarik dan efisien dalam pembelajaran berhitung, yaitu dengan permainan.
SEPULUH BENTUK PERMAINAN
1.      Permainan bingo
Bertujuan untuk mengajarkan cara penambahan atau cara perkalian.
2.      Permainan Burro
Bertujuan untuk mengenal dan mengembangkan konsep dan simbol hitungan perkalian.
3.      Permainan Parchisi
Bertujuan untuk mengenal konsep dan simbol pembagian.
4.      Permainan Roulette
Bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penambahan dan perkalian angka.
5.      Permainan Ringtoss
Bertujuan untuk belajar dasar-dasar ilmu pasti dari tingkat yang rendah ke tingkat menengah.
6.      Permainan Pinball
Bertujuan untuk memudahkan dalam mengerjakan soal berhitung baik menambah maupun mengalikan.
7.      Permainan Soccer
Bertujuan untuk mengadakan pertandingan berhitung, mengurangi, mengalikan maupun membagi juga mengerjakan hitungan campuran.
8.      Permainan Domino
Bertujuan untuk mengerjakan ilmu hitung supaya warga dapat belajar mengetahui konsep dan simbol ilmu hitung secara menyeluruh.
9.      Permainan Number Dice
Bertujuan untuk menguasai sejumlah simbol dan dasar ilmu hitung.
10.  Permainan Market Rummy
Betujuan untuk mengembangan kemampuan dasar dalam soal berhitung.
C.     LAUBACH LITERACY INTERNSTIONSL DI SYRACUSE
Lembaga Laubach Literacy International (L.L.I) di kota Syracuse,  Amerika Serikat, merupakan usaha swasta dan non profit yang bergerak di dalam kegiatan pendidikan luar sekolah seperti pemberantasan buta huruf, penyebarluasan bahasa Inggris, bimbingan dan penyuluhan sosial, pendidikan keterampilan dan pertolongan untuk mendapatkan pekerjaan. L.L.I adalah organisasi yang bersifat International telah tersebar di beberapa Negara maju dan Negara berkembang.
RIWAYAT SINGKAT L.L.I
L.L.I didirikan pada tahun 1959 oleh Dr. Frank C. Laubach, seorang pendeta dan penyebar agama Kristen warga negara Amerika Serikat yang pernah hidup bertahun-tahun di Philipina dan telah banyak menulis buku tentang keadaan dan cara hidup orang Philipina yang dianggapnya ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain. Di Sadari oleh rasa kemanusian dan Filsafah hidup orang nasrani yang beranggapan “Lebih banyak beramal dari mencari keuntungan”,  Dr. Frank C. Laubach kemudian  membantu orang-orang tersebut. Karena dasar itulah kegiatan tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat baik di Amerika dan Negara-negara lain. Setelah Dr. Frank C. Laubach meninggal organisasi tersebut kemudian di teruskan oleh anaknya yakni Robert S. Laubach seorang guru besar di Universitas Syracuse.
STRUKTUR ORGANISASI DAN POLA KERJA LLI
            Struktur organisasinya diatur dalam 3 bagian, yaitu General Management Offices dan New Reader Press Division berada di Syracuse, masing-masing bagian dibagi lagi ke dalam beberapa sub bagian. Sedangkan bagian Educational Program Division sub bagiannya tersebar di beberapa negara : Rhodesia, Jerusalem, India, Brasil, Mexico, Panama, Colombia, Amerika Latin dan Ontario Canada.
METODE PENDIDIKAN YANG DIGUNAKAN
Metode pendidikan yang digunakan L.L.I yaitu metode pendekatan dan metode studi kasus. Untuk melaksanakan kedua metode tersebut, diperlukan tenaga pimpinan yang potensial, mampu bekerja sama dengan penduduk dan mampu membuat perencanaan serta evaluasi yang baik. Selain itu, juga diperlukan sukarelawan yang memiliki banyak pengalaman dan waktu untuk memberikan informasi dan menggunakan sumber-sumber manusia serta sumbe-sumber belajar yang tersedia. Di dalam mengidentifikasi kegiatan apa yang dibutuhkan perlu diketahui beberapa hal :
1.            Siapa-siapa sajakah pihak yang mendukung kegiatan tersebut, individu atau kelompok.
2.            Kegiatan tersebut apakah sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau belum.
3.            Untuk apa kegiatan itu dan apakah tujuannya.
4.            Dari kegiatan-kegiatan tersebut manakah yang perlu diutamakan.
5.            Sudah tersediakah konsep dan alat untuk kegiatan tersebut.
Mereka tidak hanya melaksanakan, mengatur dan mengendalikan kegiatan, tetapi juga harus tahu pasti tujuan dari kegiatan tersebut baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Arah tugas mereka pada pokoknya ditujukan kepada 3 hal :
1.            Terciptanya masyarakat yang damai, adil, dan makmur.
2.            Terciptanya pribadi manusia yang serasi, utuh dan seimbang.
3.            Terciptanya pribadi manusia yang ber-Tuhan.
Semuanya itu harus sudah dituangkan dalam sistem perencanaan yang matang. Sukarelawan diberikan penataran serta bahan-bahan yang diperlukan.  Kemudian mereka kembali ke daerah masing-masing. Sebelum  mereka melaksanakan kegiatan, mereka melaksanakan pendekatan berdasarkan pendekatan yang telah dipelajari. Mereka juga harus mengadakan studi kasus untuk mngetahui jenis kegiatan apa yang dibutuhkan di daerah tersebut. L.L.I pusat di Syracuse selalu monitor aktivitas sukarelawan yang berada di negara lain.



0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tulis Komentar dengan Bahasa yang Sopan :) Kata-katamu adalah cerminan Dirimu

Kontak

UPT Pusat Humas Gedung H Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang Phone : (024) 8508093 Email : humas@mail.unnes.ac.id